Pemerintah akan menerapkan pungutan pajak 10% bagi pedagang kaki lima. Aturannya mengacu pada perda no.12 tahun 2003. Namun langkah itu dinilai tidak tepat.
Menurut Sekretaris Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Arifin Saleh Siregar, aturan itu akan menimbulkan dampat sosial. Pemko Medan cenderung mengejar pertumbuhan dengan menarik pajak dari masyarakat, sementara masyarakat tidak mendapatkan jaminan pelayanan dari pemerintah kota Medan
Aturan itu membuat pedagang kecil terhimpit. Pajak 10% pasti memberatkan pedagang kecil, seperti pedagang kopi, atau penjual mie. Sebab, dalam Perda tersebut penjualan mie dan kopi, termasuk dikenakan pajak 10%.
Dalam teori pembangunan, pemerintah seharusnya juga memperhatikan aspek sosial masyarakat. Pedagang kaki lima seharusnya mendapatkan pembinaan dan bantuan social, sehingga mereka dapat meningkatkan usahanya. Pemerintah kota Medan dapat menarik pajak, setelah usaha pedagang kaki lima telah meningkat menjadi kelompok lebih besar.
Selain itu, Arifin melihat, terdapat beberapa kejanggalan dalam aturan tersebut. Pemerintah kota Medan masih rancu dalam menetapkan kategori pedagang kaki lima. Dalam aturan itu, kategori pedagang kakilima adalah seluruh pengusaha yang berjualan di kaki lima, termasuk di trotoar dan badan jalan. Hal ini akan berdampak buruk bagi penataan kota.
Aturan itu juga, memberi peluang pegawai Dinas Pendapatan Daerah untuk menyelewengkan pungutan pajak. Sebab, jumlah uang yang harus dibayar pedagang hanya didasarkan taksiran pegawai Dinas Pendapatan Daerah.(MH)
*) Simak Bulettin Trijaya, Senin hingga Jumat jam 21.00 wib di 95,1 Trijaya FM Medan
No comments:
Post a Comment